Mpu Kuturan Sang Konseptor Desa Pekraman(naskah dipetik dari internet)
Dari beberapa sumber sejarah dapat disimpulkan
betapa eratnya hubungan pulau Bali dan Jawa
terutama Jawa Timur. Ikatan tali kasih antara Bali dan Jawa Timur bertambah
erat dengan dilangsungkannya pernikahan agung antara Sri Udayana Warmadewa dari
Bali dengan Sri Mahendradatta adik perempun raja daha Sri Dhamawangsa Ananta
Teguh putri raja Sri Makutawangsawardana, cicit dari Sri Maharaja
Paradewasikan
Kamaswara Dharmawangsa, dimana setelah upahcara dwijati atau diksa (inisiasi)
bernama Empu Sendok. Upacara agung itu dilaksanakan pada tahun 988 M, dimana
kemudian keduanya dinobatkan menjadi raja suami istri di Bali
dengan gelar Sri Gunapriya Dharmapatni/Dharmodayana Warmadewa.
Pada masa pemerintahan suami istri inilah terjadi
perubahan besar-besaran di Bali. Perubahan ini
hampir menyangkut seluruh aspek kehidupan di Bali.
Singkat kata perubahan ini menyangkut politik, ekonomi, sosial, budaya, dan
agama. Zaman itu dapat dikatakan sebagai zaman perubahan yang memberi corak dan
warna bagi kehidupan masyarakat Bali, dari
situasi perselisihan dan pertentangan kepada situasi persatuan dan kesatuan.
Adanya konflik ini diakibatkan oleh adanya perbedaan keyakinan dan kepercayaan
yang dianut oleh masyarakat Bali yang
mayoritas terdiri dari orang-orang Bali Aga.
Pada saat itu penduduk di Bali
menganut sembilan paksa/keyakinan yang berbeda, yaitu : Siwa, Khala, Brahma,
Wisnu, Bayu, Iswara, Bhairawa, Ghanapatya, dan Sogotha (Budha) yang didalam
pelaksanaannya sering menimbulkan keresahan di masyarakat. Rakyat tidak
menentang Raja, dan tidak ada pemberontakan yang ingin menggulingkan raja, hal
ini disebabkan karena masing-masing paksa/keyakinan pada masa itu menempuh jalannya
sendiri-sendiri, sehingga raja sulit mengendalikan rakyatnya karena banyaknya
visi dan misi pada tataran pemikiran rakyatnya. Akibat dari perbedaan dan
keanekaragaman keyakinan itu, keamanan dan ketertiban menjadi terganggu.
Peristiwa ini menjadi masalah sosial yang berlarut-larut dan jika dibiarkan
akan sangat mengganggu stabilitas kerajaan, dan pulau Bali
pada umumnya. Hal ini tidak dapat diatasi oleh Raja Udayana Warmadewa dan Ratu
Gunapriya Dharmapatni. Untuk mengatasi kemelut tersebut, raja suami istri ini
mengundang Sang Catur Sanak dari Panca Tirta (empat dari lima pandita/Mpu bersaudara putra Mpu
Lampita) di Jawa timur yang telah terkenal keahliannya dalam berbagai bidang
kehidupan. Mereka adalah para Mpu yang datang secara bertahap, kemudian mendampingi
pemerintahan raja dan ratu ini di Bali. Para
Mpu ini antara lain :
- Mpu Semeru atau Mpu Mahameru, tiba di Bali thun 999 M, beliau pemeluk agama Siwa dan beliau menjalani Sukla Brahmacari (Tidak kawin seumur hidup).
- Mpu Ghana tiba di Bali tahun 1000 M, beliau pemeluk paham Ghanapatya dan beliau menjalani Sukla Brahmacari.
- Mpu Rajakretha atau Mpu Kuturan tiba di Bali tahun 1001 M, beliau pemeluk Agama Budha, aliran Mahayana. Beliau menjalani Sewala Brahmacari (kawin hanya sekali dalam seumur hidup dengan satu istri).
- Mpu Genijaya tiba di Bali tahun 1006 M, beliau pemeluk paham Brahmaisme dan menjadi ayah dari 7 Mpu yang kemudian dikenal dengan nama Sang Sapta Rsi di Bali, beliau menjalani Swala Brahmacari.
Sedangkan yang paling bungsu bernama Mpu Bharada
tidak ikut ke Bali. Beliau tetap tinggal di
Lemah Tulis, Pajarakan, Jawa Timur dan kemudian menjadi purohito kerajaan Daha
pada masa pemerintahan Raja Sri Airlangga.
Kedatangan empat Pandita/Mpu ini ke Bali membawa perubahan dan angin segar bagi pulau ini.
Sebab empat Rohaniawan ini bukan saja ahli di bidang Agama, namun juga
menguasai berbagai hal dan keahlian yang berkaitan dengan politik dan
pemerintahan. Seorang yang menonjol dalam berbagai bidang keahlian diantara
keempat pandita itu adalah Mpu Kuturan. Pada masa pemerintahan raja dan ratu
ini, Mpu Kuturan selain diangkat menjadi Purohito di Kerajaan Bali, Mpu Tuturan
juga memegang beberapa jabatan penting, antara lain :
- Senapati Kerajaan yang bergelar Senapati Kuturan.
- Ketua majelis Pakira-kira Ijro Makabehan yang beranggotakan seluruh senapati, Pandita Dangacarya dan Dangupadhyaya (Pandita Siwa dan Budha) dimana majelis ini bertugas sebagai lembaga tinggi kerajaan yang berfungsi untuk memberikan nasehat dan pertimbangan kepada Raja, serta melakukan pembinaan di segala bidang, untuk menciptakan keamanan dan ketertiban di masyarakat.
Pada saat itu, atas persetujuan Raja Udayana
Warmadewa dan Ratu Gunapriya Dharmapatni, Mpu Kuturan mengadakan penelitian
untuk mencari akar permasalahan yang sedang melanda kerajaan. Dari sini Mpu
Kuturan banyak mendapat informasi, data, dan fakta yang sangat bermanfaat
tuntuk mengatasi kemelut yang terjadi di masyarakat. Mpu Kuturan menyampaikan
akar permasalahan yang terjadi di kerajaan adalah masalah keyakinan yang berbeda
satu sama lain dan saat itu beliau menemukan kiat untuk mengatasi kemelut di
masyarakat dan memandang perlu untuk melakukan perubahan di masyarakat.
Atas restu dari raja dan ratu, Mpu Kuturan
melakukan Pesamuan Agung (rapat akbar) dengan mengambil tempat di Bataanyar
(kini Gianyar). Saat itu ada 1370 desa di seluruh Bali
yang ikut dalam Pesamuan Agung ini. Pada saat pesamuan agung itu diundanglah
tokoh-tokoh dari masing-masing keyakinan yang dibedakan menjadi 3 kelompok,
yaitu:
- Empu kuturan disamping selaku ketua majelis Pakira-kira Ijro Makabehan dan pemimpin Pesamuhan Agung tersebut juga sebagai wakil penganut Budha.
- Tokoh-tokoh atau pimpinan orang-orang Bali Aga, dari masing-masing paksa/keyakinan yang terdiri dari berbagai sampradaya, dijadikan 1 kelompok yang jumlahnya paling banyak.
- Tokoh-tokoh dan pimpinan Agama Siwa didatangkan dari Jawa, dimana mereka merupakan kelompok tersendiri.
Peserta Pesamuhan Agung tersebut telah siap dan
telah membawa konsep dari masing-masing kelompok yang di ajukan dan dibicarakan
dalam Pesamuan Agung tersebut. Kepada hadirin diberikan kebebasan dalam
menyampaikan pendapat, pandangan, dan gagasan masing-masing. Semua pendapat dan
pandangan ditampung oleh Mpu Kuturan selaku ketua Pesamuhan Agung. Mpu Kuturan
juga menyampaikan pendapat dan pandangannya, bahwa perlu diadakan perubahan –
perubahan serta mengatur kembali tatanan kehidupan masyarakat dengan suatu
peraturan dengan berdasarkan situasi dan kondisi serta aspirasi dari
masyarakat. Sidang menerima pandangan Mpu Kuturan dengan suara bulat. Akhirnya
dalam Pesamuan Agung ini, diambil keputusan yang memuat beberapa jenis bidang
yang menyangkut 5 pokok permasalahan yaitu;
- Paham Tri Murti dijadikan dasar keagamaan yang telah mencakup paham dan aliran kepercayaan yang berkembangan di Bali pada saat itu.
- Dijadikan perubahan terhadap organisasi kemasyarakatan, dengan wadah yang disebut Desa Pekraman, untuk itu didirikan tiga pura yang disebut pura Khayangan Tiga, yaitu:
(a) pura bale agung atau pura desa sebagai
tempat suci untuk memuliakan Dewa Brahma, yang bertugas sebagai pencipta alam
semesta.
(b) pura puseh sebagai tempat suci untuk
memuliakan Sri Wisnu sebagai pemelihara alam semesta beserta isinya
(c) pura dalem atau pura hulu setra
sebagai tempat suci untuk memuliakan dewa Siva dan saktinya Dewi Durga selaku
pengembali unsur panca maha butha/ pralina.
Disamping itu, perlu didirikan tempat suci di
sawah, yang disungsung oleh krama subak, kemudian dalam sejarah perkembangannya
berubah nama jadi desa adat.
- Pada setiap rumah tangga di wajibkan mendirikan sebuah pelinggih berbentuk Rong Tiga (Rong Telu), sebagai tempat memuliakan dan memuja roh suci para leluhur dan Sanghyang Widhi Wasa. Sebutan lain dari rong tiga adalah kemulan yang terdapat dalam setiap sanggah atau merajan.
- Semua tanah pekarangan dan tanah yang terletak di desa pakraman dan pura khayangan tiga adalah milik desa pakraman yang juga berarti milik kayangan tiga, oleh sebab itu, tanah-tanah ini tidak boleh dijual – belikan.
- Tentang nama agama yang dianut oleh masyarakat Bali disebut agama Siva – Budha.
Demikianlah keputusan penting yang telah dibahas
dalam Pesamuan Agung tersebut. Selanjutnya hal ini menjadi warisan tak ternilai
bagi umat Hindu dan masyarakat Bali, dimana
hal ini berkaitan dengan tata tertib, tata kehidupan masyarakat, dan agama.
Sebab keputusan tersebut sangat cocok dengan aspirasi dan kondisi masyrakat Bali saat itu, yang kemudian melahirkan masyarakat
sosioreligius, dan masih dapat dilihat sampai saat ini. Tempat Pesamuan Agung
yang terletak di desa Bedahulu, Gianyar kemudian dikenal dengan sebutan Samuan
Tiga yang bermakna pertemuan segi tiga, ditempat ini saat ini telah berdiri
sebuah pura yang disebut pura Samuan Tiga atau pura Samuan Telu. Dari nama itu
telah memberikan kesan, bahwa disinilah paham trimurti mulai diperkenalkan dan
ditegakkan, serta paham Siwa – Budha yang disatukan atas dalil yang
berbunyi : “Ndatan len kira Siwa rupa Budha, maka pati urip ikang
trimandala, Sang Sangkan Paraning Sarat ganal alit hita ala ayu kojaring aji,
utpett, stithi, linaning dadi kita kocanani paramartha Sogatha”. (Prasasti
Samuan Tiga) yang kurang lebih terjemahannya sebagai berikut: “Tiada lain Siwa
yang berupa Budha, berkuasa menghidupkan sekalian makhluk penghuni tiga alam
semesta, manciptakan besar dan kecil, kasar dan halus, suka dan duka, Engkau
yang mengadakan ajaran agama (Dharma), yang berdasarkan nilai – nilai
kelahiran, kehidupan, dan akhirnya kematian. Jadi Engkau adalah penyebab
tertinggi wahai Budha”.
Sejak saat itu, kehidupan masyarakan di Bali menjadi lebih tertib, aman, rukun, dan damai. Mereka
saling hormat – menghormati sesuai dengan semboyan “Bhineka tunggal ika tan
hana dharma mangrwa”, yang artinya walaupun berbeda – beda tetapi tetap satu
dalam pelaksanaan terhadap dharma atau kewajiban. Seperti keputusan di Pesamuan
Agung yang diadakan di Bataanyar, dimana Mpu Kuturan yang menjadi
pemrakarsanya. Peristiwa itu terjadi kurang lebih tahun 1002 M.
Pada tahun 1007 M, Mpu Kuturan atas persetujuan
dari Raja/Ratu dan yang hadir pada saat Pesamuan Agung di Samuan Tiga,
Bataanyar. Memberikan wewenang kepada para Bhujangga Waisnawa untuk memimpin
pelaksanaan yajna baik besar maupun kecil yang diadakan di seluruh wilayah
kerajaan, dan Mpu Kuturan berpesan kepada Bhujangga Waisnawa sebagai berikut :
“Wahai Bhujangga Waisnawa sekalian, jangan lupa dengan junjungan dan tugas
kewajiban kalian, yang disebut Tri Wisesa, sebagai pemeluhara kita, apabila
kalian lalai dan lupa, kalian pun akan dilupakan oleh Sang Hyang Tri Wisesa,
yang dapat membuat kita bingung karena Sang Hyang Tri Wisesa itulah sebagai
sumber kita sekalian, agar kamu sekalian mengerti”.
Disamping hal tadi ada juga panjelasan Mpu
Kuturan yang mengatakan pada bilamana terjadi kekeruhan di dunia, harus
diadakan upacara yadna yang bernama tebasan. Upacara ini harus dipuja dan
dipimpin oleh Sang Bhujangga Waisnawa. Hanya Sang Bhujangga Wausnawa yang
berwenang memuja dan memimpin upacara, pangklukatan (penyucian) tersebut,
bilamana terjadi kekeruhan di dunia dan alam semesta ini, termasuk yang
behubungan dengan pekarangan rumah, tegalan (ladang), persawahan, dan lain –
lain. Jika bukan Sang Bhujangga Waisnawa yang memimpin dan memuja upacara
pangklukatan itu, maka upacara tersebut tidak akan berhasil, sebab hal tersebut
merupakan tugas dari Sang Bhujangga Waisnawa. Apabila sudah dilaksanakan
seperti itu, barulah Pulau Bali akan menjadi aman sentosa. Dikisahkan pula
bahwa para Bhujangga Waisnawa yang berleluhur Maharsi Markandeya, ketika tiba
di Bali membawa berbagai pustaka suci Weda,
yang memuat ajaran suci seperti : Sruti, Smerti, Candrakarana, Kirthabhasa,
Dasanama, Upanisad, Wedanta sutra, Itihasa (Ramayana dan Mahabrata), dan
berbagai Purana.
Desa pakraman hasil ciptaan Mpu Kuturan,
melahirkan tatanan kehidupan masyarakat, suatu wadah kesatuan dan persatuan
masyarakat Bali, yang berisi tuntunan tata krama yakni suatu aturan hidup untuk
menciptakan suasana kehidupan yang serasi, selaras, dan seimbang di dalam
kehidupan masyarakat. Selain tatakrama juga terdapat nilai – nilai kebersamaan
yaitu musyawarah untuk mufakat. Dalam desa pakraman juga diatur tentang tata
ruang karena dalam kehidupan masyarakat manusia ini memerlukan kebutuhan hidup
yang mencukupi, yang disebut “Panca Wa Sasaning Nithi Warga”. Yang dimaksud
Panca Wa itu adalah kebutuhan pokok hidup, yang terdiri dari Wisma (perumahan),
Wastra (sandang), Wareg (pangan), Waras (kesehatan), dan Waskita (pendidikan
dan rekreasi). Di dalam hal ini wawasan lingkungan ditentukan, sehingga tata
ruang jelas diketahui, dimana masing – masing wilayah ditetapkan tentang
kegunaan dan manfaatnya, seperti misalnya : lokasi kahyangan, perumahan,
bangunan umum untuk kepentingan bersama, lapangan, jalan, dan lain sebagainya.
Dengan demikian, model atau corak desa di Bali,
apabila mengikuti tataruang ini akan tampak ada persamaannya.
Manusia di dalam kehidupannya membutuhkan suatu
tempat tinggal sekelompok manusia yang disebut hunian. Hunian ini bukanlah
merupakan sesuatu hanya dipergunakan melainkan mempunyai fungsi sebagai perekat
rasa atau batin untuk memperkat hubungan sosial. Di dalam pembangunan, bukan
saja merupakan kegiatan yang bersifat fisik, namun melibatkan pula hal – hal
yang bersifat non fisik, melalui ritual keagamaan. Jiwa dan rasa penghuninya
dikaitkan dengan setiap bangunan yang didirikan. Tataruangan suatu hunian
mengikuti dan berpedoman kepada tataruang. Hunian bukan saja menampung manusia
semasa hidupnya, melainkan juga manmpung manusia yang telah meninggal dunia,
termasuk yang sudah tidak terwujud yaitu arwah suci para leluhur, yang distanakan
di tempat khusus yaitu Sanggah atau Pemrajan. Oleh sebab itu, antara sekala
(alam nyata) dengan niskala (alam gaib) dapat dipadukan kelestariannya dalam
kehidupan bermasyarakat, sehingga masalah aktual dan spiritual dapat
diwujudkan, disenyawakan, dan diselaraskan seperti apa yang dikonsepkan dalam
ajaran “Rwa Binedha”. Persenyawaan ini harus diaktifkan malaui ritual. Melalui
ritual inilah, ruang memperoleh makna dan waktu serta peristiwa sehingga
pedoman yang mengatur kegiatan ini adalah suatu lingkungan yang teratur dan
utuh, sebab pedoman yang terjadi berdasarkan atas kesepakatan yang diyakini
bersama. Kebutuhan lingkungan akan menjadi kuat apabila mulai dari tataruang,
bangunan, alat, pakaian, kelakuan sampai ritual berdasarka suatu pedoman. Begitu
pula pengendalian sumber daya harus dijadikan upaya untuk menjaga keseimbangan
lingkungan, termasuk di dalamnya tentang ketahanan, ketertiban, dan keamanan
yang mantap, ampuh, dan terkendali.
Pada konsep tataruang yang bebudaya dan
berwawasan lingkungan positif, yang ditetapkan oleh Mpu Kuturan ke dalam
masyarakat Bali, dapat memberikan warna dan
corak kehidupan masyarakat di daerah ini. Seperti misalnya : Triangga,
Trimandala, Hulu teban, Astabhumi, Asta Kosala – Kosali, Bamakerthi, Jananpaka,
dan lain sebagainya. Semua ini kemudian menjadi landasan berpijak bagi
masyarakat Hindu di Bali dan pedoman di dalam setiap gerak kehidupan
bermasyarakat yang dapat memperkuat rasa kebersamaan diantara masing – masing
kelompok dan perorangan. Semua konsep dan ajaran Mpu Kuturan akhirnya dijadikan
warisan tak ternilai bagi masyarakat Hindu di Bali, walaupun tidak sedikit
pemakai konsep dan ajaran ini tidak mengetahui siapa arsitek konsep dan ajaran
tersebut.
Karya lain dari Mpu Kuturan adalah berhasil
memperluas dan memperbesar Pura Besakih, serta menciptakan Pelinggih Meru dan
Gedong. Mpu Kuturan juga yang mengajarkan pembuatan kahyangan secara spiritual,
termasuk pembuatan jenis – jenis pedagingan. Selain itu, Mpu Kuturan juga yang
telah menciptakan konsep Tri Hita Karana, yang berarti tiga penyebab
kebahagiaan, yaitu : Parahyangan yang berarti hubungan manusia dengan Tuhan,
yang termanifestasi dalam bentuk Kahyangan Tiga, Palemahan yaitu hubungan
manusia dengan alam dan lingkungan di sekitarnya tercermin dari wilayah
tertorial dari desa pakraman, dan Pawongan yaitu hubungan manusia dengan sesama
manusia yang tercermin dalam kramaning warga.
Guna menjaga ketentraman masyarakat Bali, Mpu
Kuturan mendirikan dan menyempurnakan Pura Kahyangan Jagat yang berjumlah delapan
buah, yaitu : Pura Besakih, Lempuyang, Andakasa, Goa Lawah, Batukaru, Beratan,
Batur, dan Uluwatu. Selain itu Mpu Kuturanlah yang memprakarsai upacara ngenteg
linggih atau yang sering disebut ngelinggihang (menstanakan) Dewa Pitara (roh
suci leluhur) di sanggah atau pemrajan pada rong tiga (kemulan). Pelinggih Rong
Tiga juga berlaku untuk tempat suci memuliakn Tuhan yang Maha Esa dalam
fungsinya sebagai Kahyangan Tiga keluarga dalam fungsi Beliau sebagai penguasa
dari penciptaan, pemelihaaran, dan pengembali ke unsur Panca Maha Butha, yang
tersimbolisasi dari Dewa Brahma, Sri Wisnu, dan Dewa Siwa.
Konsep bangunan Meru yang diperakarsai oleh Mpu
Kuturan disebut perlambang dari gunung Mahameru, tempat kediaman para dewa.
Namun ada yang berpendapat bahwa Meru adalah perkembangan candi dari Jawa.
Candi Jawa sebenarnya melambangkan alam kosmos yang dapat di bagi menjadi 3
bagian, yaitu bhur loka, yang dilambangkan pada kaki candi, bwah loka yang
dilambangkan sebagai badan candi, dan swah loka dilambangkan atap candi. Di
dalam perkembangannya, di Bali meru tidak hanya bertumpang 3, melainkan dari
tumpang 1 sampai tumpang 11. Perlu diketahui kalau tumpang meru selalu ganjil,
kecuali tumpang 2. Jadi ada tumpang 1, 2, 3, 5, 7, 9 dan 11. Kenyataan
membuktikan di Bali menurut fungsinya meru
dapat dikategorikan menjadi 2 jenis, yaitu sebagai dewa prathista atau
pelinggih dewa dan meru selaku atma pratistha atau sebagai pelinggih roh suci.
Perbedaan dari kedua jenis Meru ini terletak pada sikutnya (ukurannya) seperti
ditentukan pada lontar asta kosala – kosali.
Menurut lontar Andhabhuwana, Meru merupakan
perpaduan dari Pradana tatwa dan Purusa tatwa, yang melahirkan Batur Kalawasa
petak atau cikal bakal leluhur yang suci. Disebutkan pula bahwa Meru sebagai
lambang Andhabhuwana atau alam semesta, sedang tumpang atapnya simbol lapisan
alam. Begitu juga disebut bahwa Meru adalah simbol aksara suci Dasaktara yang
menunggal menjadi Om dengan windu – windhu
baik, diawali dari windhu satu sampai sebelas.
Dengan demikian Meru beratap sebelas adalah
lambang dari sebelas aksara suci, simbol ekadasa dewata. Meru beratap sembilan
aksara suci simbol Nawa Dewata (Sanga Dewata). Meru beratap tujuh lambang tujuh
aksara suci, simbol Sapta Dewata, Meru beratap lima
merupakan lambang lima
aksara suci, simbol Panca Dewata. Meru beratap tiga lambang tiga aksara suci,
simbol dari Tri Purusa. Meru beratap dua lambang dua aksara suci, simbol rwa
bhineda atau purusa pradana. Sedangkan meru beratap satu merupakan lambang dari
panunggalan seluruh aksara menjadi Om, simbol
Sang Hyang Tunggal.
Mpu Kuturan, sebagaimana telah disinggung dalam
beberapa sumber berupa lontar dan babad, tatkala masih di Jawa, Mpu Kuturan
pernah bertahta sebagai raja yang berkedudukan di Gira dan mempunyai seorang
istri serta seorang putri bernama Dyah Ratnamanggali. Namun Mpu Kuturan dan
istrinya mengalami pertentangan sehingga keluarga ini menjadi retak. Konflik
ini terjadi karena istrinya menerapkan ilmu hitam, yaitu menjalankan teluh
teranjana, dimana ritual ini merupakan salah satu cara untuk memuja bhatari
Durga demi mendapatkan kesaktian. Istrinya merupakan pengikut tantra kiri atau
bhairawi. Sedangkan Mpu Kuturan menerapkan ajaran kebajikan. Oleh karena hal
inilah Mpu Kuturan lalu meninggalkan istri dan anaknya untuk pergi ke Bali
menerima undangan Raja Udayana Warmadewa dan Ratu Gunapriya Dharmapatni untuk
membantu menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh Raja suami istri ini.
Walaupun pada akhirnya istrinya dikalahkan oleh adiknya sendiri yaitu Mpu
Bharadah dengan siasat menikahkan Dyah Ratnamanggali dengan putranya yaitu Mpu
Bahula, dimana akhirnya Rangda Girah (istri Mpu Kuturan) berhasil dikalahkan.
Cerita ini sangat terkenal di Bali, dan hal tersebut tergambar dalam pementasan
sendratari Calonarang, bahkan di pura pada saat pujawali, ditampilkan dalam
bentuk tarian barong dan rangda sebagai perlambang kekuatan baik dan buruk,
dharma dan adharma (rwa bhineda).
Untuk menghormati jasa – jasa Mpu Kuturan, maka
dibuatlah pelinggih khusus untuk Beliau berbentuk Manjangan Salwang, karena
kedatangan Mpu Kuturan ke Bali konon menunggangi seekor menjangan. Namun
dibalik ungkapan tersebut, Menjangan Salwang dapat diartikan sebagai balai yang
panjang dan luas, dimana “Manjangan” berarti panjang, “salu” berarti balai dan
“wang” berarti luas. Sehingga kata Manjangan Salwang diartikan sebagai lambang
dari balai yang panjang dan luas, dimana tempat itu digunakan sebagai tempat
pertemuan para dewa. Selain itu Mpu Kuturan juga mendirikan tempat suci di
Padang Bai, Karangasem yang bernama Pura Cilayukti, dimana “sila” berarti
tingkah laku dan “yukti” berarti benar. Berarti jika diartikan yaitu tingkah
laku yang benar, karena di pura inilah Mpu Kuturan mulai memimpin dan
mengajarkan tingkah laku yang benar kepada masyarakat Bali.
Demikianlah karya dari Mpu Kuturan di Bali, dimana hal ini masih dapat dilihat
hingga sekarang sebagai salah satu warisan penting bagi masyarakat Hindu di
Bali. Hal ini menjadi ciri khas dari kebudayaan Bali
yang sosio – religius.
Sumber: Gede Praptam
http://ngarayana.web.ugm.ac.id/2010/01/mpu-kuturan-sang-konseptor-desapekraman/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar